Bisa diprediksi, tapi tak bisa diantisipasi
Dua gol yang dicetak City oleh David Silva nyaris identik: Gol pertama dijaringkan kurang dari 10 menit babak pertama dimulai, dan gol kedua tercipta hanya berselang lima menit setelah babak kedua dimulai.
Ini berbanding terbalik dari Pep Time - dimana City kerap menciptakan gol penentu kemenangan di akhir laga pada paruh pertama musim. Kenapa Guardiola melakukan ini? Sederhana, setiap lawan City di Premier League paham betul bahwa melawan City dengan permainan yang berbasis penguasaan bola sama saja bunuh diri – oleh karena itu mayoritas akan bertahan, melambatkan tempo permainan dan menumpuk banyak pemain di lini pertahanan mereka sendiri.
Guardiola melihat ada satu kelemahan dalam taktik lawan ini: yaitu pada masa krusial – 10 menit pertama laga dimulai di kedua babak. Saat peluit ditiup wasit, Pep menginstruksikan anak buahnya untuk langsung menekan dengan tempo tinggi, sehingga lawan kesulitan beradaptasi dengan tempo yang diperlihatkan dan pada akhirnya akan kebobolan gol cepat. Rasa frustrasi akan menular di kubu lawan karena mereka kesulitan menguasai dan merebut bola – secara psikologis tim yang menguasai bola punya keuntungan, dan trio Jesus – Sane – Sterling punya senjata yang ampuh untuk membuat lawan City kesulitan menyamai tempo permainan the Blues: kecepatan.
Itulah kenapa gol pertama yang dicetak Silva merupakan kombinasi yang diawali oleh kecepatan Jesus dan Sterling sebelum diselesaikan dengan sempurna oleh El Mago. Skenario ini kembali dieksekusi sempurna lima menit setelah turun minum. Strategi sempurna dari Pep: Lawan menyadarinya setelah merasakannya di babak pertama – hanya saja City terlalu cepat untuk dihentikan.
Semakin lengkap
Fernandinho kembali menjadi pivot yang diapit oleh De Bruyne dan David Silva, sementara itu Jesus dan Sterling kembali mengisi lini depan ditemani oleh Sane. Jika Mendy mulai kembali diturunkan – maka skuat City akan kembali sempurna dan dapat memainkan dua skema: Empat bek dan tiga bek. Kenapa ini penting? Karena ketika pertandingan terkunci, perubahan modul menjadi krusial dalam merubah arah pertandingan. Terutama di Liga Champions, tim-tim yang juara pada umumnya mampu memainkan minimal dua modul yang berbeda dan menjahitnya berdasarkan karakter lawan yang dihadapi sehingga prosentase kemenangan bisa naik drastis. Misal: jika City diundi kontra Madrid atau Bayern di perempat final – kembalinya Mendy akan membuat The Blues mampu bermain dengan tiga bek sehingga selain flair – ada satu faktor lagi yang akan membuat lawan gentar: tidak bisa ditebak.
Skenario sempurna
Jika mampu menang kontra United di Etihad pada tanggal 7 April nanti, City bisa dinobatkan sebagai kampiun Premier League di kandang sendiri melawan rival sekota – sebuah skenario yang mungkin diidamkan oleh Citizens di seluruh dunia. Partai ini tak hanya menjadi penentuan gelar juara – lebih dari itu menjadi pernyataan bahwa kekuatan telah berganti di kota Manchester. Jika menjadi juara musim ini – itu berarti City telah tiga kali menjadi juara dalam tujuh musim terakhir. Jumlah yang hanya bisa disaingi oleh Chelsea (dua kali), sementara United dari tujuh musim terakhir hanya dua kali mengakhiri musim di posisi empat besar – ini menjadi pembuktian nyata bahwa dominasi kekuatan sepakbola di kota Manchester telah berganti. Ayo berdiri lads! Karena Manchester itu Biru!