Yang pertama untuk banyak berikutnya…

Ungkapan yang sekiranya tepat setelah City meraih trofi Piala FA musim 2010/11 yang berujung pada terkumpulnya 15 trofi utama lainnya untuk City dalam satu dekade terakhir.

Saat kita berbicara tentang pembuka jalan, nama pria asal Italia ini tak asing didengar dan tak mungkin terhapus dalam kisah perjalanan klub, ya manajer dengan gaya elegan, Roberto Mancini.

DOWNLOAD APLIKASI RESMI MAN CITY

LANGKAH AWAL, JUVENTUS DAN INGATAN PERTAMA TENTANG CITY

Lahir dan tinggal di Jesi, sebuah kota di Italia, ia dibesarkan oleh Ibu yang merupakan seorang perawat dan juga Ayahnya yang bekerja pengrajin kayu dan batu. Kehidupan keluarga yang stabil dan menyenangkan.

Dan seperti kecintaan orang Italia lainnya pada sepak bola, Ayah Roberto selalu menyempatkan bermain dan mengajarkan sepak bola pada anaknya, meski ia sendiri bermain untuk kesenangan dan bukan profesional.

“Ayah saya adalah seorang amatir yang antusias dan dia bermain sepak bola, tetapi tidak secara profesional,” kata Roberto. “Dia mencintai sepak bola dan saya pikir dia ingin saya menjadi pesepakbola karena kehidupan yang mungkin datang kepada saya dan karena rasa senang yang bisa dia dapatkan.” Ceritanya saat melakukan wawancara di awal bergabung dengan klub bersama David Clayton, Reporter Senior Manchester City.

“Ketika saya masih kecil, kami biasa pergi ke lapangan sepak bola di belakang rumah kami dan bermain setiap hari sepulang sekolah. Kami berlatih, berlatih, berlatih dan jika dia sibuk, saya akan bermain dengan teman-teman saya sebagai gantinya. Itu adalah hari-hari yang sangat membahagiakan bagi saya.

Tahukah Anda tim favoritnya kala kecil? Bologna? Bukan. Sampdoria? Bukan. Lazio? Juga bukan. Justru ia mengidolakan tim yang tak pernah dibelanya sama sekali sepanjang karir… Juventus!

“Sebagai seorang anak laki-laki, idola saya adalah Juventus,” dia tersenyum. “Mereka adalah salah satu tim paling populer di Italia dan dari sekitar usia enam tahun, saya bepergian dengan ayah saya untuk menonton mereka bermain di setiap pertandingan kandang. Kami membutuhkan waktu 10 jam dengan bus untuk pergi dari Jesi ke Turin, tetapi saya memiliki kenangan yang sangat menyenangkan tentang saat-saat itu.

“Hingga sekitar 13 tahun yang lalu hanya ada dua saluran di Italia sehingga sepak bola tidak selalu ditayangkan di TV seperti sekarang ini. Itu membuat pertandingan menjadi lebih istimewa dan ketika saya pergi ke Stadio delle Alpi untuk menonton Juve, saya akan menjadi sangat emosional karena itu sangat berarti bagi saya.

“Kami berbicara tentang sepak bola sepanjang perjalanan ke sana dan saat pulang. Saya ingat pertandingan Piala Eropa pertama saya untuk Juve, pertandingan liga pertama – semuanya! Kenangan yang indah....

Karena Juventus pula lah ia memiliki sepercik ingatan tentang tim dari Inggris bernama Manchester City.

“Saya ingat ketika mereka bermain melawan City pada tahun 1976 di Piala UEFA. Saya tidak ingat datang ke pertandingan atau tidak, tetapi saya tahu Juve memenangkan leg kedua 2-0 untuk lolos 2-1. Saya pikir Brian Kidd mencetak gol kemenangan di leg pertama!

“Saya kira itu adalah pertama kalinya saya menyadari keberadaan City dan saya selalu ingat kemeja biru langit yang mereka kenakan.”

RASA SEPAK BOLA INGGRIS DI PENGHUJUNG KARIR

Melakukan debut di Serie A bersama Bologna di umur 16 tahun, memberi gelar Italia pertama bagi Sampdoria dan menjadi legenda di sana dengan torehan 171 gol dari 566 penampilan. Lalu bergabung ke Lazio dan memberi tim ibukota tersebut tujuh trofi termasuk Scudetto dan Juara Piala Eropa.

Itu sederetan prestasi luar biasa sang gelandang serang semasa bermain yang 99% nya untuk tim di Italia. Tapi sebuah kesempatan unik datang di penghujung karirnya yang diakui memenuhi rasa hormat dan daya tarik sepak bola Inggris yang luar biasa.

“Ya, saya selalu ingin datang ke Inggris, jadi saya menandatangani kontrak dengan Leicester City pada tahun 2000,” katanya. “Sven berbicara dengan manajer Leicester dan bertanya apakah saya ingin datang dan bermain untuk mereka, jadi saya melakukannya dan saya sangat menikmati waktu saya bersama mereka, meskipun singkat.

“Saya memiliki kenangan yang sangat bagus tentang Leicester. Saya hanya memainkan lima pertandingan, tetapi saya menikmati bekerja untuk manajer dan dengan para pemain.”

CITY+ | LANGGANAN UNTUK KONTEN EKSKLUSIF

DARI ITALIA, MENUJU MANCHESTER CITY

Dikenal dengan nama besar dan prestasi gemilangnya sebagai pemain, pria kelahiran 27 November 1964 beralih ke pekerjaan manajemen sejak 2001 di negara asalnya, mulai dari Fiorentina yang ia bawa juara Piala Italia, lalu Lazio yang berhasil menuju Liga Champions dan juga meraih trofi Piala Italia, dan lalu menangani Internazionale.

Bersama Nerazzuri, ia memberi trofi domestik pertama (sudah jadi garis hidupnya) bagi klub sejak 1989 dengan menjuarai Coppa Italia di musim pertamanya pada 2004/05, berlanjut dengan koleksi tiga Scudetto untuk Inter hingga masa baktinya di 2008.

Prestasi bersinar yang cukup meyakinkan City untuk mendatangkannya di tanggal 19 Desember 2009, menggantikan Mark Hughes di pertengahan musim dengan kontrak selama tiga setengah tahun.

“Saya ingin memenangkan banyak trofi dengan klub ini. Saya pikir penggemar kita luar biasa dan itu membuat saya lebih bertekad dari sebelumnya untuk membawa mereka sukses – ketika kami memenangkan trofi pertama kami, itu akan menjadi momen yang sangat bagus untuk semua orang, saya pikir.

Niatan sang manajer tercermin dari pengaruhnya yang nampak jelas di awal saat pertama mengambil alih tim. Ia langsung memenangkan empat laga perdananya bersama tim Biru Langit, dengan total mencetak 10 gol dan hanya kebobolan satu gol. Awal yang impresif.

Pria 56 tahun ini pun berhasil memenangkan derbi Manchester pertamanya saat kedua tim bertemu di semi-final Piala Liga, City berhasil menang 2-1 lewat dwigol Carlos Tevez.

Nyaris menuju mimpi ke kompetisi tertinggi Eropa, anak asuhan Mancini harus puas mengakhiri musim di posisi lima klasemen pada musim pertamanya. Namun itu serta merta lalu meluruhkan kepercayaan Presiden Klub, Khaldoon Al Mubarak padanya.

Keyakinan tersebut dibayar lunas oleh Mancini di musim berikutnya.

Mendatangkan beberapa wajah baru (yang kemudian akan menjadi legenda klub) seperti David Silva, Mario Balotelli, Aleksandar Kolarov dan juga Yaya Toure, kita memulai musim dengan semangat dan optimisme baru.

Alhasil, musim yang sengit berlangsung. Di Liga sendiri, posisi tiga berhasil kami amankan untuk memastikan keikutsertaan di Liga Champions musim depan.

Namun apa yang diyakini sebagai awal dari segalanya adalah keberhasilan kami mencapai final kompetisi sejak terakhir tahun 1981.

City bertemu Stoke City asuhan Tony Pullis di final Piala FA. Kami datang ke Wembley dengan pejuh harap dan rasa tegang yang tak terbayangkan. Tanpa gol hingga menit 74, gelandang asal Pantai Gading kita melesakkan bola melewati gawang the Potters yang dijaga Thomas Sorensen.

Trofi yang lama dinanti pun hadir!

Trofi pertama sejak 1976, mengakhiri penantian 35 tahun, menjadi trofi Piala FA kelima dan mengawali dekade yang luar biasa untuk klub.

MUSIM TAK TERLUPAKAN

Berbicara periode Roberto Mancini bersama City pasti tertanamkan perebutan gelar Liga Primer yang dramatis musim 2011/12, dan begitu pun sebaliknya.

Sebelum hari penentuan di laga terakhir musim yaitu kemenangan 3-2 atas QPR (rasanya tidak perlu lagi menceritakan momen bersejarah ini!), semua berawal dari perekrutan cerdas sang pria Italia.

Sebut saja nama-nama bintang seperti Samir Nasri, Gael Clichy dan Stefan Savic, tapi satu nama yang tentunya menentukan di hari akhir adalah Sergio Aguero, sang pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah City.

Jika Ia tidak bersikeras mendatangkan sang penyerang Argentina, mungkin saja pertistiwa bersejarah itu tak akan pernah terjadi.

“Saya ingat saya ingin dia datang ke City tetapi pada saat itu saya pikir dia sangat dekat untuk bergabung dengan Juventus, jadi saya melakukan semua yang saya bisa untuk memastikan dia datang kepada kami karena dia memiliki potensi untuk menjadi salah satu striker terbaik di Liga Inggris,” kata Mancini.

“Saya pikir dia akan menjadi pemain yang fantastis untuk Manchester City dan untuk pendukung kami dan untungnya, Khaldoon setuju dengan saya untuk mengontraknya.”

Sekali lagi, keyakinan yang berbuah manis!

Momen kemenangan menit akhir itu rasanya memang tidak akan bisa dilupakan, oleh siapapun!

Termasuk Roberto Mancini yang kini menjabat pelatih timnas Italia.

“Memenangkan Liga Primer di detik terakhir tetap bersama Anda. Ini membuat Anda merinding,” kata Mancini dalam sebuah wawancara dengan Il Giornale.

“Saya mulai di Lazio, dan itu memuaskan; itu yang saya inginkan setelah bermain di sana. Saya memenangkan kejuaraan pertama di Inter, tetapi gelar bersama Manchester City, setelah 44 tahun menunggu, sangat indah.”

CATATAN ANGKA DI AKHIR

Memenangkan Charity Shield (kini bernama Community shield) setelah musim dramatis dengan mengalahkan Chelsea 3-2 melengkapi perolehan tiga trofi Mancini bersama City.

Melalui 191 laga dengan catatan 113 kemenangan di semua kompetisi, City menjadi tim super produktif dengan deretan pencetak gol yang luar biasa.

Carlos Tevez menjadi pencetak gol terbanyak di era kepelatihannya dengan 65 gol, disusul 46 gol Sergio Aguero, 39 gol Edin Dzeko dan 30 gol masing-masing untuk Yaya Toure dan Mario Balotelli.

Sedangkan nama Gareth Barry, Joe Hart dan Vincent Kompany menjadi tiga pemain teratas dalam daftar penampilan terbanyak bersamanya.

Dengan segala momen sedih dan menyenangkan, Roberto Mancini telah membangun era baru yang membentuk dominasi dan keperkasaan tim dalam berbagai kompetisi hingga saat ini.

Mengutip perkataannya:

“Untuk membantu mengubah sejarah klub itu luar biasa dan Anda akan tetap berada dalam ingatan semua pendukung tim itu selama bertahun-tahun.”

Ya, kami dan seluruh penggemar City tak akan pernah melupakanmu, Signore.